BAB KELIMA TEORI-TEORI TENTANG BELAJAR


 


A.       Teori-teori Belajar Behavioristik

Paradigm Behaviouristik menekankan prosen belajar sebagai perubahan relative permanen pada perilaku yang dapat diamati dan timbul sebagai hasil pengalaman. Dengan demikian, perubahan perilaku yang disebabkan oleh, sakit, stress, emosional dan kematangan tidak dapat disebut sebagai belajar.

Ada tiga teori belajar dalam paradigma behavioristic yang terkenal yaitu:teori Connectionosm dari Thorndike, teori Classical conditioning dari Pavlov, teori Operant Conditioning dari Skinner.

 

1.        Teori Connectionism

Menurut Thorndike seluruh kegiatan belajar adalah didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan yang dibentuk antara stimulus dan respon. Asumsinya bahwa otak siswa dapat menyerap dan menyimpan jejak-jejak mental aspek individual dari sebuah situasi. Teori ini juga disebut trial and error learning. Karena hubungan yang terbentuk antara stimulus dan respons tersebut timbul terutama melalaui trial and error, yaitu suatu upaya mencoba berbagai respon untuk mencapai stimulus meski berkali-kali mengalami kegagalan. Proses ini kemudian juga disebut sebagai connectionism, atau leraning by selecting and connecting.

Thorndike juga membuat rumusan hukum belajar. Tiga hukum belajar major yang dikemukakan oleh Thorndike adalah:

a.      Law of readiness (hukum kesiapan)

Belajar akan terjadi bila ada kesiapan dari individu. Menakala organisme, baik manusia maupun hewan, memiliki kesiapan untuk belajar, maka ia akan mengalami kesiapan, tetapi jika ia tidak siap maka akan terjadi kekecewaan. Thorndike percaya bahwa kesiapan adalah kondisi belajar yang penting, karena kepuasaan atau frustasi bergantung pada kondisi kesiapan individu.

b.      Law of exercise (hukum latihan)

Perilaku sebagai hasil belajar terbentuk karena adanya hubungan antara stimulus dan respon. Hubungan tersebut diperkuat atau diperlemah oleh tingkat intensitas atau durasi pengulangan hubungan atau latihan. Jika tidak terjadi latihan selama beberapa waktu, hubungan akan melemah.

c.       Law of effect (hukum efek)

Jika sebuah respon menghasilkan efek yang menyenangkan, hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dihasilkan respon, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respon tersebut, kemudian pada akhirnya respon tersebut tidak dimunculkan lagi. Namun kelemahan teori ini tetap ada. Diantaranya, teori ini tidak membahas bagaimana siswa mengatur diri mereka dalam belajar, akan tetapi lebih pada bagaimana guru mengatur belajar siswa. Selain itu, pembentukan ikatan asosiasif melalui pengulangan dan reward merupakan bagian dari kelengkapan alami manusia sebagaimana hewan.

 

2.        Teori Classical Conditioning

Teori ini berkembang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov. Dalam eksperimennya, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui bagaimana reflex bersyarat terbentuk dengan adanya hubungan antara conditioned stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), dan conditioned respon (CR).

Setelah dilakukan eksperimen secara berulang-ulang, hasilnya anjing mengeluarkan air liur (CR) meski hanya mendengar bunyi bel saja (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabila CS dan UCS dihadirkan berulang-ulang secara bersamaan. Secara singkat, eksperimen tersebut digambarkan sebagai berikut.

Setelah melakukan serangkaian eksperimen, akhirnya ia berkesimpulan bahwa reflex bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang atau dihilangkan.

a.       Reflex bersyarat yang telah terbentuk itu dapat hilang karena stimulus yang mengganggu (hilang sementara).

b.      Reflex bersyarat itu dapat hilang dengan proses penyaratan kembali (reconditioning).

Hasilnya menunjukkan bahwa daya diskriminasi anjing itu maksimum hanya sampai pada tiga jenis stimulus.

 

3.        Teori Operant Conditioning

Teori ini dikemukakan oleh BF. Skinner pada tahun 1930-an. Dinamakan operant conditioning karena respon bereaksi pada lingkungan sebagai efek yang timbul oleh reinforce. Menurut Skinner, sebagian besar perilaku manusia adalah berupa respon atau jenis perilaku operant. Kemungkinan modifikasi perilaku tersebut juga boleh dikatakan tak terbatas. Focus teori ini adalah bagaimana menimbulkan, mengembangkan, dan memodifikasi perilaku operant tersebut dengan penguatan (reinforcement).

Berdasarkan teori ini, Skinner merumuskan prosedur pembentukan perilaku. Secara sederhana, prosedur tersebut terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut:

a.         Identifikasi kemungkinan reinforce bagi perilaku yang akan dibentuk.

b.         Analisis komponen-komponen perilaku.

c.         Identifikasi reinforcer untuk masing-masing komponen perilaku.

d.        Melaksanakan pembentukan perilaku sesuai dengan urutan komponen perilaku yang telah disusun.

 

Teori operant conditioning ini sangat besar pengaruhnya di Amerika Serikat. Dikalanga pendidikan beberapa program inovatif dalam bidang pembelajaran disusun berdasarkan atas teori Skinner, diantaranya: Pembelajaran Terprogram (programmed instruction), Pembelajaran Berbantuan Komputer (computer assisted instruction), dan Mesin Mengajar (teaching mechine). Beberapa kritik yang sering dimunculkan pada kelemahan proses belajar manusia pada teori behavioristic adalah:

1.         Teori behavioristic sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks. Teori ini juga tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

2.         Pandangan behavioristic juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi dan berpikir pembelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama.

3.         Teori behavioristic juga cenderung mengarahkan pembelajar untuk beepikir linier, konvergen, tidak kreatif, dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa pembelajar merukan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pembelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi.

 

Beberapa implikasi teori-teori behavioristic dalam pendidikan dan pembelajaran diantaranya adalah:

1.         Tujuan pembelajaran ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas “mimetic” yang menuntut pembelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes.

2.         Peran pendidik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu yang harus dicapai oleh para pembelajar.

3.         Peran pembelajar sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Proses pembelajaran kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pembelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya.

4.         Proses pembelajaran memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan sudah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan ke orang yang belajar atau pembelajar.

5.         Proses belajar terjadi akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.

6.         Evaluasi hasil belajar diukur haya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang terjangkau dalam proses evaluasi. Evaluasi menekankan pada respon pasif, keterampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test.

 

B.       Teori-teori Belajar Kognitif

Berbeda dengan teori belajar paradigm behavioristic yang menjelaskan belajar sebagai perubahan perilaku yang dapat diamati sebagai hasil pengalaman, teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan berpokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang digunakan dalam memahami dunia eksternal. Dari perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menunjukkan perubahan perilaku.

Diantara teori-teori kognitif yang terkenal adalah teori cognitive filed dan Information-processing theory.

 

1.        Teori Cognitive field

Teori ini dikemukakan oleh Kurt Lewin. Menurutnya, masing-masing individu berada dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis. Medan dimana individu bereaksi disebut life space. Lewin memberikan peranan lebih penting pada motivasi dari reward. Lewin juga lebih setuju dengan menggunakan istilah sukses dan gagal dari pada reward dan punishment.

2.        Teori Schema

Teori schema mengemukakan keberadaan struktur pengetahuan yang disebut dengan schema atau schemata yang memiliki dua bentuk, yaitu berbentuk objek dan berbentuk kejadian. Schema dibentuk melalui proses abstraksi. Schema yang sudah terbentuk akan memengaruhi apa yang diingat tentang sebuah pengalaman melalui tiga proses, yaitu: seleksi, pengambilan intisari, dan interpretasi.

Ada tiga implikasi utama teori schema dalam praktik pendidikan, yaitu:

a.       Guru harus memandang belajar sebagai perolehan dan modifikasi schema dan bukan perolehan tanpa makna.

b.      Guru harus mengetahui bahwa tanpa berbagai alat batu belajar, siswa terkadang hanya menyerap sedikit pengalaman atau peajarn.

c.       Belajar yang bermakna timbul bila siswa dapat memasukkan informasi baru kedalam schema yang telah ada atau bila mereka dapat menciptakan schema baru dengan cara analogi terhadap schemata yang lama.

 

3.        Teori Pemrosesan Informasi (Information-processing Theory)

Teori ini merupakan salah satu teori kognitif tentang belajar yang pertama dan paling berpengaruh. Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menggambarkan pemrosesan, penyimpanan dan perolehan pengetahuan oleh pikiran. Menurut teori ini, belajar adalah yang menyangkut tentang bagaimana informasi dari lingkungan dapat disimpan dalam memori. Untuk menggambarkan proses tersebut digunakan pemodelan. Model proses penyimpanan dikemukakan oleh Atkinson dan Shiffrin pada tahun 1958. Model komponen tersebut memiliki tiga komponen mayor, yaitu:

Komponen pertama adalah penyimpanan informasi, yaitu tempat penyimpanan data, yang digunakan untuk menyimpan informasi, seringkali di analogikan dengan filing cabinet, buku alamat. Hardisk kkomputer. Komponen kedua adalah peoses kognitif, yaitu tindakan internal, intelektual yang mentranfer informasi dari satu tempat penyimpanan ke tempat penyimpanan yang lain. Komponen ketiga adalah metakognisi, yaitu pengetahuan dan control terhadap proses-proses kognitif.

Teori pemrosesan informasi memiliki dua implikasi pokok, yaitu:

a.       Guru perlu mengetahui bahwa siswa pada dasarnya memiliki keterbatasan dalam memproses dan mengingat informasi.

b.      Guru harus memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan pengulangan dan latihan.

 

C.      Teori-teori Belajar Konstruktivis   

Fosnob mengatakan konstruktivisme adalah teori tentang pengetahuan dan belajar yang menguraikan tentang apa itu “mengetahui” dan bagaimana seseorang menjadi tahu. Pengetahuan selalu mengalami perubahan sejalan dengan proses asimilasi dan akomodasi, karena itu guru harus memberikan kesempatan pada si pembelajar untuk membangun konsep yang akurat tentang pengetahuan tersebut.

Menurut Eggan dan Kauchak, ada empat ciri teori konstruktivis, yaitu:

1.      Dalam proses belajar, individu mengembangkan pemahaman sendiri, bukan menerima pemahaman dari orang lain.

2.      Proses belajar sangat bergantung pada pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya.

3.      Belajar difasilitasi oleh interaksi social.

4.      Belajar yang bermakna timbul dalam tugas-tugas belajar yang autentik

 

Dari berbagai pandangan konstruktivitis yang ada, ada dua pandangan yang mendomonasi, yaitu:

1.        Teori Individual Cognitive Constructivist

Teori ini dikemukakan oleh Jean Piaget 1977. Teori ini berfokus pada konstruksi internal individu terhadap pengetahuan. Pengetahuan tidak berasal dari lingkungan social, akan tetapi interaksi social penting sebagai stimulus terjadinya konflik kognitif internal pada individu. Cognitive constructivist menekankan pada aktivitas belajar yang ditentukan oleh pembelajar dan berorientasi penemuan sendiri.

Teori ini juga mengemukakan tahap-tahap perkembangan pribadi serta pertambahan umur yang memengaruhi kemampuan belajar individu. Menurut Pieget, perkembangan kapasitas mental memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada. pieget memolopori gagasan konstruktivisme. Menurutnya, bahwwa ekpose anak-anak pada dunia sekitarnya dan aktivitas-aktivitas mereka menyebabkan mereka menciptakan rintisan mental kearah pandangan yang dikembangakan lebih utuh.

Implikasi teori Pieget dalam praktek pendidikan dinyatakan dalam bentuk dua prinsip, yaitu:

1.      Agar siswa mampu menciptakan struktur mental mereka.

2.      Berpikir pada tiap level perkembangan memiliki ciri yang unik karenanya perlu mempertimbangkan ketika mendesain program pendidikan.

2.        Teori Sociocultural Constructivist

Teori ini dikemukakan oleh Lev Vygotsky. Teori ini berpandangan bahwa pengetahuan berada dalam konteks social, karenanya ditekankan pentingnya bahasa dalam belajar yang timbul dalam situasi-situasi social yang berorientasi pada aktivitas. Menurut Vygotsky, anak-anak hanya dapat belajar dengan cara terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas bermakna dengan orang-orang yang lebih pandai. Berkaitan dengan ini Vygotsky mengemukakan sebuah konsep yang disebut Zone of Proximal Development (ZPD).

ZPD adalah level kecakapan melebihi apa yang dapat dilakukan sendiri oleh anak didik dan menunjukkan rentang tugas belajar yang dapat dikerjakan jika dibantu oleh orang dewasa atau teman sebaya yang berkompoten. Menurut Eggen dan Kauchak, penerapan ZPD pembelajaran mencakup tiga tugas, yaitu: pengukuran, pemilihan aktivitas belajar, dan pemberian dukungan pembelajaran untuk membantu siswa melalui zonanya secara berhasil.

Teori Vygotsky memiliki empat implikasi pendidikan yang utama, yaitu:

1.      Guru harus bertindak sebagai scaffaold yang memberikan bimbingan yang cukup untuk membantu anak-anak mencapai kemajuan.

2.      Pembelajaran harus selalu berupaya “mempercepat” level penguasaan terkini anak

3.      Untuk menginternalisasi keterampilan pada anak-anak, pembelajaran harus berkembang dalam empat fase. Pertama guru harus menjadi model dan memberikan komentar. Kedua siswa harus berupaya mengimitasi apa yang dilakukan ole guru. Ketiga guru haru mengurangi intervensi secara progrresif begitu siswa telah menguasai keterampilan tersebut. Keempat guru dan siswa secara berulang-ulang mengambil peran secara bergiliran.

4.      Anak-anak perlu berulang-ulang dihadapkan dengan konsep ilmiah agar konsep spontan mereka menjadi lebih akurat dan umum.


No comments: